Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten Media Partner
Pembelian Rumah Bersubsidi Dinilai Lebih Sering Terjadi Penipuan, Kenapa?
22 Desember 2022 20:12 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Transaksi jual-beli rumah bersubsidi dinilai lebih sering menimbulkan permasalahan ketimbang rumah reguler atau komersil. Bahkan seringkali beredar kabar penipuan dalam jual-beli rumah bersubsidi.
ADVERTISEMENT
Hal ini disampaikan oleh marketing Bumi Arofatuna Selaras, perusahaan pengembang lain di Yogya, Rizky Oktariadi. Dia mengaku sering bertemu dengan pelanggan yang menjadi korban iming-iming rumah murah bersubsidi.
“Rumah subsidi itu rawan banget penipuan, saya juga sering bertemu konsumen yang jadi korban penipuan rumah subsidi.” Kata Rizky saat ditemui dalam acara Amazing REI Property Expo 2022 di Ambarukmo Plaza, Rabu (21/12).
Dia mengatakan, banyak perusahaan properti yang menawarkan perumahan subsidi namun belum ada wujud rumahnya. Dan ketika harusnya sudah ada serah terima, ternyata rumah yang dijual belum selesai digarap atau bahkan belum ada progres pembangunan.
“Masalah itu yang kemudian dianggap sebagai penipuan,” kata dia.
Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Ilham Muhammad Nur, mengatakan bahwa masalah-masalah yang terjadi dalam transaksi rumah bersubsidi sebenarnya tidak sepenuhnya penipuan. Masalah-masalah tersebut menurut dia banyak disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dari developer atas aturan rumah bersubsidi.
ADVERTISEMENT
Sesuai aturan, rumah bersubsidi menurut dia baru bisa ditransaksikan jika rumah sudah jadi, air sudah mengalir, listrik sudah menyala, jalan sudah bisa dilewati, serta sudah keluar izin Persetujuan bangunan Gedung (PBG) dan sertifikat pecahan per kapling. Berbeda dengan rumah reguler atau komersil yang secara aturan bisa ditransaksikan meski bangunannya belum selesai dikerjakan dan belum ada sertifikat pecahnya.
“Teman-teman pengembang sering tidak memahami itu, akhirnya mereka buka lahan baru, begitu izin prinsip pertama keluar langsung jualan. Menerima booking fee dan sebagainya,” kata Ilham Muhammad Nur.
Memang jika perhitungan pengembang matang, perumahan bersubsidi dengan harga yang disepakati bisa terealisasi. Namun sejak izin prinsip pertama keluar sampai realisasi ada proses panjang hingga 2 sampai 3 tahun. Dan pada waktu yang telah disepakati, ternyata ada perusahaan yang gagal menyelesaikan pembangunan 100 persen.
ADVERTISEMENT
“Karena sudah menerima uang pemesanan namun tidak menyelesaikan 100 persen, akhirnya bahasa-bahasa penipuan itu muncul,” kata dia.
Apalagi dalam perjalanannya harga rumah bersubsidi selalu berubah. Misalnya tiga tahun terakhir harga rumah bersubsidi adalah Rp 150.500.000, namun empat tahun lalu harganya masih Rp 140-an juta, dan enam tahun lalu harganya masih Rp 130-an juta.
Bahkan menurut dia ada kasus dimana rumah ditawarkan saat harga rumah bersubsidi masih Rp 112-an juta. Saat sudah banyak konsumen yang membayar uang muka dengan harga tersebut, beberapa tahun berikutnya harganya naik jadi Rp 140-an juta.
“Hal-hal begitu akhirnya membuat masyarakat jadi tidak percaya, dan harus diakui juga biasanya rumah subsidi kualitasnya tidak sebagus rumah komersil,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Dia juga mengatakan bahwa kemungkinan besar tahun depan harga rumah subsidi akan naik lagi di kisaran Rp 160-an juta sesuai dengan adanya keputusan pembebasan PPn rumah subsidi dari pemerintah.
“Pengembang yang kemarin menjual belum selesai itu, rumah belum jadi, listrik belum nyala, air belum mengalir, dia kan jualannya rumah subsidi Rp 150 juta, nah ketika nanti tahun 2023 baru bisa ditransaksikan disampaikanlah kepada konsumen harganya Rp 160 juta, sehingga konsumen akan merasa tertipu,” jelas Ilham Muhammad Nur.